{"id":3315,"date":"2019-09-13T09:14:01","date_gmt":"2019-09-13T09:14:01","guid":{"rendered":"https:\/\/www.sunmedia.co.id\/?p=3315"},"modified":"2021-10-26T10:25:53","modified_gmt":"2021-10-26T03:25:53","slug":"meneladani-pak-habibie-sang-teknokrat-pesawat-indonesia","status":"publish","type":"post","link":"https:\/\/sunmedia.co.id\/blog\/meneladani-pak-habibie-sang-teknokrat-pesawat-indonesia\/","title":{"rendered":"Meneladani Pak Habibie, Sang Teknokrat Pesawat Indonesia"},"content":{"rendered":"

Duka mendalam dirasakan bangsa Indonesia, satu di antara putera terbaik bangsa, Bacharudin Jusuf (B.J) Habibie telah berpulang menghadap sang khalik. Kabar duka ini terjadi pada Rabu (11\/9) kemarin. Sang \u201cBapak Pesawat\u201d menghembuskan nafas terakhirnya sekitar pukul 18.05 WIB di RPSAD Gatot Subroto, Jakarta.<\/p>\n

Banyak jasa yang telah dihadiahi teknokrat Indonesia ini kepada bangsa. Antara lain pembangunan Industri Pesawat Terbang Nusantara yang kini dikenal sebagai PT. Dirgantara Indonesia<\/a>. Semasa hidup, beliau juga berjasa dalam pengembangan teknologi di Indonesia. Habibie lahir di Parepare pada 25 Juni 1933 dari pasangan Alwi Abdul Jalil Habibie dan RA. Tuti Marini Puspawardjoyo.<\/p>\n

Seperti yang dikutip dari Historia, Habibie sudah menggilai buku sejak kecil. Sebagai kutubuku, Habibie bahkan jarang bermain dengan anak-anak sebayanya. Selain menggemari ilmu pengetahuan, Habibie juga dikenal sebagai sosok yang religius. Hal ini terlihat dari keahliannya membaca Al-Quran. Habibie kecil tergolong introvert, terlebih sejak sang ayah wafat saat usia Habibie baru 14 tahun.<\/p>\n

Minatnya terhadap pesawat terbang sudah terlihat sejak beliau bersekolah di SMAK Dago Bandung, Jawa Barat. Setelah lulus, Habibie muda pun melanjutkan kuliah di Institut Teknologi Bandung (ITB) pada 1954. Saat berkuliah dia mulai menggemari aeromodelling. Sayangnya, pendidikan di ITB hanya dijalaninya selama enam bulan lantaran ingin berkuliah ke luar negeri bersama kawannya, Kenkie Laheru.<\/p>\n

Segala persiapan dilakukan Habibie muda untuk dapat berkuliah di luar negeri, hingga akhirnya dia mengajukan visa pelajar ke Kementerian Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan di Jakarta. Habibie pun berhasil masuk ke Technische Hochschule Aachen University untuk mempelajari ilmu aeronautika. Ia berkuliah lewat jalur membeli devisa pemerintah dari uang peninggalan mendiang ayahnya.<\/p>\n

Alasan utama nya menggeluti ilmu aeronautika adalah ingin mendalami teknologi pesawat buatan Jerman yang dikaguminya. Sejak remaja Habibie jatuh hati pada pesawat tempur Jerman produksi era Perang Dunia II, Masserschmitt 109 buatan teknokrat Jerman Willy Masserchsmitt. Ia mejadi satu-satunya mahasiswa Indonesia yang kuliah menggunakan biaya sendiri, bukan beasiswa sebagaimana mahasiswa lainnya yang berkuliah ke luar negeri.<\/p>\n

Habibie pun menyelesaikan kuliahnya sampai ke jenjang doctoral. Untuk membiaya hidup, Habibie menjadi tangan kanan Hans Ebner, seorang teknokrat di Lehrsthul und Institut f\u00fcr Leichtbau, dan bekerja paruh waktu sebagai penasihat perusahaan kereta api Waggonfabrik Talbot. Habibie menerima gelar Doktoingenieur pada 1965.<\/p>\n

Karirnya pun berlanjut setelah ditunjuk sebagai Wakil Presiden Direktur Teknik di pabrik pesawat Messerschmitt-B\u00f6lkow-Blohm (MBB) di Hambur. Pada tahun 1973 sebuah panggilan pulang diterima Habibie dari kakak iparnya, Brigjen Subono Mantofani. Saat itu, Presiden RI, Soeharto mendengar kejeniusan Habibie di Jerman dan ingin membawa kecemerlangan Habibie untuk membangun negeri.<\/p>\n

Saat pulang ke Indonesia, Habibie diminta oleh Soeharto untuk mengembangkan Industri Pesawat Terbang Nusantara.\u00a0 Habibie pun mulai merancang pesawat. Satu di antara pesawat buatannya adalah N250 Gatotkaca. Sampai pada suatu saat Soeharto mengangkat Habibie menjadi Menteri Riset dan Teknologi.<\/p>\n

Contents<\/p>